"Peristiwa
Kenari", demikian Rien menamakannya, adalah sebuah langkah tak
terencana yang sempat membuat wanita lajang ini panik. Ketika mereka
berdua akhirnya tiba kembali di kota, menembus rintik hujan dan gelap
senja, Rien sempat ingin berbincang dahulu. Ia ingin menjelaskan
sesuatu, agar Kino tak salah tangkap. Tetapi mulutnya terkunci, dan
otaknya buntu. Lagipula, apa yang bisa ia jelaskan? Misteri apa yang
bisa ia ungkap dalam sebuah peristiwa pendek yang begitu bergelora tadi?
Dan kenapa ia harus kuatir akan Kino; kesalah-tangkapan apa yang
mungkin terbesit di benak pria muda itu?
Akhirnya mereka berpisah dengan kikuk. Di perempatan dekat kantor camat,
Rien berbelok ke kiri, ke tempat kostnya. Sambil berusaha tersenyum
menenangkan diri, ia melambaikan tangan dari atas sepedanya. Kino tampak
ragu-ragu, apakah hendak ikut belok kiri atau terus, langsung ke
rumahnya. Tetapi dilihatnya Mba Rien hanya melambai, tidak menawarkan
mampir. Maka ia pun hanya membalas lambaian dan melanjutkan perjalanan
ke rumah.
Di tempat kost, Rien memutuskan untuk segera mandi, terburu-buru melepas
jaket parasut dan celana pendeknya. Dengan bersaput handuk, ia berlari
kecil ke kamar mandi di sebelah kamar tidurnya. Teman satu kostnya,
seorang guru SMP bernama Laras yang sebaya dengannya, tak tampak.
Mungkin sedang bermain ke tetangga sebelah. Cepat-cepat Rien mengunci
pintu kamar mandi dan membuka pakaian-pakaian dalamnya. Lalu ia membasuk
kaki-kakinya yang terpercik lumpur, dan mencuci tangan.
Sewaktu mencuci tangan itulah, terbayang kembali "peristiwa kenari" yang
barusan dialaminya. Sambil tersenyum, dalam hati ia memarahi dirinya
sendiri. Rien, kamu telah membuka gerbang ke arah dunia yang tak
terduga! Kini, apa yang akan terjadi berikutnya, kamu harus simak dengan
seksama. Dan dengan hati-hati. Siapa yang tahu, apa yang kini
bergejolak di hati Kino, dan apakah keremajaannya mampu menampung
gejolak itu. Rien mengambil sabun dan membasuh kedua tangannya dengan
seksama. Tangan itu yang tadi meremas-membelai, menguak sebuah tabir
dari babak cerita di panggung kehidupan!
Lalu Rien menumpahkan bergayung-gayung air dingin ke tubuhnya. Segera
kesegaran menyerbu badannya, membuatnya ingin bernyanyi. Maka tak lama
kemudian ia menggumamkan lagu -entah apa- sambil mulai menyabuni
tubuhnya. Lehernya yang jenjang ia sabuni. Sepasang bukit indah di
dadanya, ia sabuni, sampai dipenuhi busa-busa harum. Pada saat menyabuni
bagian bawah tubuhnya, ia terkejut sendiri. Hampir saja sabun lepas
dari genggaman. Ternyata kewanitaannya basah oleh cairan bening yang
telah lama tak pernah ada di sana.
Kekagetannya juga berlanjut, ketika Rien sadar bahwa di bagian itu ada
rasa hangat yang berlebihan. Ada sensitifitas yang lebih dari biasanya.
Tanpa sabun, tangannya bergerak lebih ke bawah, mengusap-usap seperti
sedang menduga apa gerangan yang terjadi. Sebenarnya, Rien tak perlu
menduga, karena setiap usapan mendatangkan rasa yang telah lama tak
dirasakannya: sebentuk geli yang bercampur nikmat, yang dengan mudah
membuat jantungnya berdegup sekian kali lebih kencang. Tanpa bisa
dicegah, Rien tiba-tiba mendesah, dan kedua kakinya bagai sedang
berseteru, saling memisahkan diri satu sama lainnya.
Suara kucuran air cukup keras menyembunyikan desah Rien yang kini
memperkuat usapan tangannya. Bahkan itu bukan lagi mengusap namanya. Itu
meremas namanya. Menekan-nekan dengan telapak, dan menggaruk-mengurat
dengan jari tengah. Lalu pangkal ibu jarinya bertumbu pada bagian atas,
bergerak-gerak seperti sedang menarik picu senjata. Rien menggelinjang,
dan hampir saja terpeleset di lantai kamar mandi yang licin. Tangan
kirinya yang bebas buru-buru berpegangan ke tembok, sementara tangan
lainnya tak hendak berhenti. Malah bergerak makin cepat seperti ada
sesuatu yang mendesak yang harus dilakukan di bawah sana. Mata Rien
sedikit terpejam, dan mulutnya yang berpagar bibir basah itu sedikit
terbuka. Nafasnya sedikit memburu. Serbuan-serbuan kenikmatan datang
entah dari mana, dan Rien agak terhuyung, sehingga ia akhirnya bersandar
di tembok marmer yang dingin dan basah.
Suara orang membuka pintu ruang depan membuat Rien tersentak sadar.
Buru-buru ia kembali ke dekat bak mandi. Terdengar suara Lara nyaring,
"Rieeeen ........ kau kah itu di kamar mandi?"
Rien membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba tersekat, sebelum
menjawab keras-keras, "Ya, ini aku La ... sedang mandi...", entah apa
pula perlunya menambahkan kata "sedang mandi" di ujung kalimat!
"Dari mana saja, anak manis?" teriak Lara lagi, terdengar melangkah menuju kamarnya di seberang kamar Rien.
"Dari hutan mencari kenari .... ", jawab Rien sambil mulai mengguyur.
Duh, segera saja api yang berkobar di tubuhnya padam. Dalam hati Rien
bersyukur, Lara datang sebelum dirinya betul-betul terlena oleh
tangannya sendiri! Tetapi sesungguhnya ia juga kesal, kenapa Lara datang
pada saat seperti itu. Sambil tertawa kecil, Rien menghentikan
perdebatan di kalbunya. "Peristiwa Kenari" ternyata tidak hanya mengubah
hidup Kino!!
******
Sementara Kino telah pula sampai di rumahnya. Ia telah pula di kamar
mandi, dan telah pula menyabuni tubuhnya. Sama dengan Mba Rien, ia telah
pula kembali membayangkan apa yang terjadi di hutan tadi. Bedanya, Kino
tak berhenti karena terganggu oleh teriakan ayah, atau panggilan ibu,
atau ajakan Susi untuk bermain petak umpet. Kino melanjutkan
gerakan-gerakan tangannya, mengerang pelan ketika akhirnya
ledakan-ledakan orgasme tercapai.
******
Seminggu setelah "peristiwa kenari", Kino disibukkan oleh
ulangan-ulangan di sekolahnya. Dalam kesibukannya itu, Kino tak bertemu
Mba Rien. Ia tak mungkin bisa menemui Mba Rien, karena diam-diam Mba
Rien pergi ke rumah salah seorang kakaknya di kota B, 6 kilometer di
sebelah selatan. Sebuah pesan pendek disampaikan Niken kepada Kino,
ketika pria remaja ini lewat di depan sanggar (tentu saja, ia sengaja
lewat!). Kata Niken, Mba Rien menyuruh Kino rajin belajar supaya semua
ulangannya bernilai bagus. Kata Niken lagi, Mba Rien baru akan pulang
bulan depan, karena sanggar akan tutup sementara murid-murid menjalani
ulangan.
Untuk beberapa saat, Kino merasa ada sesuatu yang tak beres. Kenapa dia
tiba-tiba menghindar? sergahnya dalam hati, disertai gundah karena
kepergian Mba Rien hanya berjarak seminggu dari peristiwa di gua itu.
Apakah ia marah? Tetapi apa yang membuatnya marah? Mba Rien tak tampak
marah ketika ia melakukan itu di gua; ia bahkan tampak ceria, dan
matanya penuh senyum menggoda. Apakah ia malu menemuiku lagi? Tapi,
bukankah aku yang seharusnya malu menemuinya?
Pikiran-pikiran itu berkecamuk sepanjang hari, berlanjut sepanjang
malam, sehingga Kino baru tertidur pukul 2 pagi. Untung keesokan harinya
ulangan belum lagi dimulai karena masih dalam rentang "minggu tenang".
Tentu saja Kino tak punya seorang pun yang bisa diajak mendiskusikan
pikiran-pikirannya. Tidak Dodi dan Iwan yang baginya cuma akan menambah
persoalan. Tidak juga ibu, dan apalagi tentu bukan ayah. Keduanya pasti
cuma akan marah dan menuduh yang bukan-bukan.
Maka Kino terpaksa mengambil kesimpulan sendiri. Ia pergi ke pantai
sendiri, berenang sampai letih, lalu tidur-tiduran di bawah semak-semak
tempat ia dulu pertama kali menyentuh dada Mba Rien. Sambil tertidur itu
lah ia memutuskan, bahwa tak mungkin Mba Rien bermaksud buruk. Tak
mungkin tiba-tiba Mba Rien meninggalkan dirinya penuh dengan tanya yang
belum terjawab. Ia adalah seorang wanita bijaksana, pikir Kino dalam
hati, dan ia pergi karena aku harus ulangan umum. Karena aku harus
berkonsentrasi dengan buku-bukuku. Karena dengan Mba Rien di dekatnya,
buku-buku akan dia lempar jauh-jauh!
Pikiran itu meneduhkan gejolak hati Kino, walau tak pernah menjadi
jawaban sempurna bagi pertanyaan-pertanyaan yang terus berdatangan di
kepalanya. Pikiran itu pula yang membantu Kino berkonsentrasi ke
pelajaran sekolahnya, sehingga ulangan umum tak terasa begitu menyiksa.
Dua minggu ia hanya belajar dan belajar, sehingga ketika ulangan tiba,
kepalanya seperti penuh dengan huruf dan angka. Satu demi satu ia
menyelesaikan mata ulangan dengan sedikit kesulitan saja. Di akhir masa
ulangan, kepalanya terasa kosong sekali. Ringan dan sejuk.
"Kamu kelihatan riang dan optimis...," tiba-tiba Alma sudah berdiri di
dekatnya, memeluk tas dan menuaskan senyum di mukanya yang tampak letih
setelah seharian berkutat dengan kertas ulangan.
Kino membalas senyum Alma, dan tiba-tiba sadar bahwa cuma gadis ini yang
tampaknya peduli akan perasaannya. Kino teringat, Alma pula yang dua
minggu lalu -sebelum ulangan dimulai- bertanya kenapa wajahnya keruh.
Alma pula yang pernah menawarkan sebotol minuman dingin ketika ia sedang
duduk sendirian di pinggir lapangan basket menunggu bel masuk setelah
istirahat. Alma yang penuh perhatian!
"Lega rasanya setelah semua ulangan selesai," ucap Kino sambil memandang
Alma, dan menyadari betapa indah kedua bola mata gadis yang oleh Dodi
dan Iwan selalu dipuji-puji setinggi langit. Alma tersenyum lagi,
menembakkan seberkas perasaan yang belum jelas tertangkap oleh Kino.
"Pulang sama-sama?" kata Alma lembut, seperti mengajak, seperti menebak.
Ah, Kino tak tega mengatakan "tidak", maka ia cuma mengangguk dan
mereka berjalan beriringan pulang. Kino menuntut sepedanya, Alma
berjalan sambil tetap mendekap tas sekolahnya. Sayup-sayup Kinomendengar
Dodi berteriak "cihuiii.." dan Iwan memperdengarkan suitan nakalnya.
Kino mengutuk dalam hati, dua monyet itu sungguh tak punya sopan. Tetapi
ia tersenyum juga.
Mereka berjalan pelan-pelan, menyusuri jalan yang dipagari pohon-pohon
asam rindang, berbincang-bincang ringan tentang sekolah. Alma bertanya
tentang rencana liburan, Kino mengatakan ia belum punya rencana. Alma
berbicara tentang rencana berkemah anak-anak kelas dua dan kelas tiga,
Kino mengatakan dukungannya kepada rencana itu. Alma bertanya apakah
Kino akan ikut berkemah, dan Kino menjawab "mungkin". Alma lalu terdiam.
Kino juga diam. Pohon-pohon asam juga diam. Angin juga diam.
Dalam diam Kino membandingkan Alma dengan Mba Rien. Betapa berbedanya!
Alma tampak lembut, mungil, terkadang seperti sedang bersedih. Mba Rien
selalu menggairahkan, tegas, dan penuh ide kegiatan. Tetapi Alma sangat
cantik, terutama jika mereka sedang berdua, dan jika ia sedang bertanya,
"Ada apa?" dengan suaranya yang pelan dan matanya yang menatap bening.
Di depan Mba Rien, Kino seperti murid di hadapan maha-guru dunia
persilatan, mengikuti segala gerak-geriknya dengan seksama, mematuhi
anjuran dan permintaannya. Di depan Alma, sebaliknya, ia merasa perlu
melingkarkan tangan di bahu yang tampak ringkih itu. Merasa perlu selalu
jalan di sebelah kanan kalau beriringan. Merasa perlu menawarkan
membawa alat-alat laboratorium setiap kali mereka selesai praktikum.
Mereka tiba di depan bioskop satu-satunya di kota itu. Mereka harus
berpisah di sini, kecuali jika Kino ingin mengantar Alma sampai ke
rumahnya. Alma memecah kesunyian di antara mereka, "Sampai jumpa lagi
sehabis liburan," katanya pelan, lalu mulai berbelok.
"Alma..," tiba-tiba saja Kino sudah berucap, tapi ia sendiri lupa hendak
bicara apa. Alma menghentikan langkah, berputar menghadap Kino yang
juga sedang berdiri terpaku. Alma menunggu, wajahnya penuh harap. Ah,
mengertikah Kino apa artinya "harap"?
"Aku ingin ikut berkemah..., tapi...," Kino berucap penuh keraguan.
Cepat sekali wajah Alma berubah mendengar ucapan Kino, dan bibirnya yang
mungil susah-payah menyembunyikan senyum yang tiba-tiba menyeruak.
Segumpal harapan tersekat di kerongkongnya.
"..... tapi aku tidak tahu harus mendaftar kepada siapa." lanjut Kino setelah menelan ludah yang terasa pahit.
"Aku bendahara panitia," sergah Alma cepat sekali, seperti memang sudah
dipersiapkan sejak tadi tetapi ditahan-tahan, "Kamu bisa mendaftar
kepadaku. Hari ini juga namamu sudah bisa kutulis sebagai peserta. Aku
bisa menalangi uang pendaftarannya. Aku....," Alma menghentikan
ucapannya, sadar melihat Kino berdiri melongo memandang gadis di
depannya bicara penuh semangat, seperti berbicara di depan pertemuan
partai politik!
Alma merasa mukanya tersiram air hangat, dan ia segera menunduk
menyembunyikan rasa malu yang menyerbu. Kino tiba-tiba ingin tertawa
keras, tetapi ia bertahan sekuat tenaga, sehingga yang keluar cuma
senyuman yang lebar.
"Kalau begitu," ucap Kino sambil tetap menahan senyum, "Sampai jumpa di alun-alun sekolah Sabtu depan!"
Alma mengangkat muka, memperlihatkan wajahnya yang memerah tetapi juga
bersinar riang sempurna. Matanya berbinar seperti bintang timur di pagi
hari. Mulutnya mengguratkan senyum amat manis, bahkan bagi Kino, bahkan
di terik siang yang kering itu. "Sampai jumpa," bisiknya, tetapi tentu
Kino tak mendengar karena ia telah mulai melangkah lagi sambil
melambaikan tangan. Alma mengangkat tangan kananya, melambai pelan, dan
akhirnya berbalik untuk berjalan ke arah rumahnya. Bumi terasa empuk,
seperti kasur terbuat dari busa. Alma senang sekali hari itu.
Senang-senang-senang sekali!
******
Bumi perkemahan adalah arena penuh suka-duka remaja. Pak Guru dan Bu
Guru adalah sipir-sipir penjara, dan anak-anak kelas dua dan kelas tiga
adalah para pesakitan. Tetapi siapa yang peduli! Setelah letih didera
ulangan dan ujian, bumi perkemahan adalah penjara yang dirindukan. Di
sini mereka bisa berteriak mengalahkan guntur di langit, bernyanyi tanpa
not balok dan tanpa dirijen (yaitu Pak Sulih, guru seni yang terlalu
tua itu!), serta tidur melewati batas waktu yang selalu ditetapkan
secara sepihak oleh orangtua. Di sini pula menyebar cinta remaja, cinta
monyet, puppy love, atau apa lah namanya!
Di perkemahan itu pula, Kino "menemukan" Alma, setelah sekian lama
mereka berteman. Kino kini menyadari, Alma bukan gadis biasa, bukan
semata-mata teman sekelas yang duduk di bangku kayu berwarna coklat tua
itu. Bukan seperti Tres, atau Sriani, atau Gina, atau Lisa. Karena Alma
punya kelebihan dari semua mereka itu: Alma peduli padanya, peduli pada
apa yang dirasakannya, dan peduli dengan ketulusan. Karena Alma tidak
meminta, tetapi memberi. Alma tidak mengajak, tetapi mendampingi.
Pagi itu, dengan alasan menemani Alma mengambil air di sungai, Kino
menarik gadis itu ke balik sebuah batu besar. Di situ, di antara
gemersik air dingin dan kicauan burung yang terlambat bangun, Kino
menciumnya. Lembut dan penuh perasaan, ia mengulum bibir gadis yang kini
memeluknya erat sekali. Alma memejamkan mata, merasakan angin seperti
sutra menyelimuti tubuh mereka berdua, mendengar nyanyian merdu dari
daun-daun yang berjatuhan. Kino merengkuh tubuh yang terasa jauh lebih
mungil itu (Alma cuma setinggi hidungnya), melumat bibirnya yang basah
dan terasa manis. Ember terguling berkelontangan.
Sejak itu, Dodi dan Iwan mengubah sebuah lagu pop dengan teks gubahan
mereka sendiri yang sangat gombal. Kino pusing sekali mendengar gubahan
yang tidak karuan itu. Bahasanya buruk, tidak puitis, dan jelas-jelas
memproklamirkan percintaan Alma dengannya. Pusing sekali Kino dibuatnya,
tetapi apa lah dayanya, cuma Dodi dan Iwan yang bisa menghiburnya
dengan ketololan-ketololan seperti itu!
******
Enam hari menjelang masa sekolah, Alma menemani kedua orangtuanya ke
ibukota, katanya hendak menjenguk kakek-neneknya. Inilah pertama kalinya
Alma merasa perlu melaporkan kepergiaannya kepada Kino, karena sejak
perkemahan dan ciuman pertama itu, Kino resmi menjadi kekasihnya.
Seorang kekasih harus tahu kemana pasangannya pergi, bukan? Maka Alma
menulis surat pendek, di atas kertas merah jambu, dan dikirim lewat
kurir istimewa bernama Dodi dengan pesan wanti-wanti, "Jangan dibuka
sebelum tiba di tangan Kino!"
Kino tersenyum membaca surat itu, sementara Dodi memanjang-manjangkan
leher ingin mengintip isinya. Dengan seksama, dilipatnya kertas merah
muda itu, dan disimpannya di dompet. Kepada Dodi, ia bilang bahwa Alma
pergi ke ibukota untuk menikah dengan pria pilihan orangtua mereka. Dodi
mencibir tak percaya, tapi Kino tak peduli apakah temannya percaya atau
tidak. Mereka lalu bersiap-siap berenang ke sungai, dan mengajak Iwan
ikut serta. Sepanjang sore, mereka berlomba-lomba menyebrangi sungai,
dan Kino selalu menang. Kedua temannya terlalu ceking dan terlalu banyak
bergadang.
Sepulangnya dari berenang, ketika Dodi dan Iwan telah terpisah darinya, Kino bertemu Niken.
"Hai..., apa kabar!" sergah wanita teman Mba Rien itu.
"Kabar baik," ucap Kino pendek. Sebetulnya ia ingin melanjutkan dengan
pertanyaan tentang Mba Rien, tetapi Kino ragu apakah hal itu patut
ditanyakan kepada Mba Niken.
"Tidak pernah ke sanggar lagi?" tanya Niken, entah kenapa Kino merasa wanita ini sedang menggodanya.
"Mmmm .... bukankah latihan tari belum dimulai lagi, dan Susi belum perlu datang lagi?" jawab Kino.
Niken tertawa kecil, "Maksudku, .... koq tidak pernah ngobrol dengan Mba Rien lagi, dia kan sudah datang!"
Kino menelan ludah. Oh, Mba Rien telah pulang. Cepat sekali rasanya
waktu berlalu, pikirnya dalam hati. Lalu, entah kenapa ia akhirnya
berjalan beriringan dengan Niken ke arah sanggar. Niken berceloteh entah
tentang apa, Kino tak begitu memperhatikan, karena kepalanya sibuk
menjawab berbagai persoalan yang tiba-tiba muncul.
Sesampai di sanggar, Niken berkata bahwa ia hendak ke belakang dulu, dan
bahwa Mba Rien ada di ruang latihan. Kino menggumamkan terimakasih,
menjawab sekenannya, lalu berjalan ke arah ruang latihan. Langkahnya
terasa berat, tetapi kaki-kakinya seperti digerakkan oleh mesin yang tak
bisa dikendalikannya sendiri.
"Hei!!! Kino!...apa kabar?" suara Mba Rien yang lepas-nyaring terdengar
begitu Kino muncul di pintu ruang latihan. Kino terpaku sejenak, matanya
menyesuaikan diri dengan keremangan ruang latihan. Akhirnya ia melihat
Mba Rien, sedang menggelar tikar-tikar bersama seorang wanita lain yang
tak dikenal Kino.
Rien mendekat dengan cepat. Duh, kenapa ia jadi rindu kepada remaja ini?
sergahnya dalam hati, tetapi ia tak mempedulikan perasaannya.
Dipeluknya Kino sebelum pemuda ini sepenuhnya sadar apa yang terjadi,
lalu dikecupnya cepat pipinya. Kemudian dilepasnya pelukan secepat ia
mencium pipinya, dan diberondongnya Kino dengan serentetan pertanyaan.
Kino tergagap-gagap menjawab pertanyaan tentang ulangan, tentang
liburan, tentang orangtuanya, tentang Susi, tentang .... entah tentang
apa lagi. Banyak sekali yang tak bisa dijawabnya. Mba Rien tampak
bersemangat sekali, dan Kino baru belakangan menyadari bahwa rambut
wanita ini telah berubah pendek. Tetapi perubahan itu justru menambahkan
kecantikan baru, karena lehernya yang jenjang dan mulus itu semakin
terpampang indah, dan matanya yang bersinar itu semakin tampil. Kino
tiba-tiba merasa ingin melingkarkan tangannya di leher yang
menggairahkan itu!
Setelah mencencar dengan pertanyaan dan menyeret Kino untuk membantunya
menggelar tikar-tikar, akhirnya Mba Rien mengajak Kino ke tempat
kostnya. Kino hendak membantah, karena hari sudah mulai gelap. Tetapi,
sebagaimana biasanya, ia tak pernah bisa menolak inisiatif Mba Rien.
Lagipula ini malam Minggu dan sekolah belum lagi mulai. Kino tadi sore
telah mengatakan akan bermalam minggu bersama teman-teman, dan ayah-ibu
telah mengijinkannya pulang paling lambat pukul 11. Maka akhirnya Kino
bertandang ke tempat kost Mba Rien.
Di tempat kost Mba Rien, tampak Mbar Laras sedang berbincang dengan
seorang pria berwajah tampan dan berpakaian rapi, mungkin pacarnya. Kino
mengangguk sopan, dan Mba Laras mencubit pahanya sambil mengomel,
mengatakan bahwa Kino tidak adil karena hanya datang kalau ada Mba Rien.
Pria yang sedang bersama Mba Laras bertanya, siapa si Kino itu (usil
juga dia!) dan segera dijawab bahwa Kino adalah adik bungsu Rien. Pria
itu menggumamkan, "Oooo.." yang entah mengandung curiga atau percaya.
Kino tiba-tiba sebal kepada pria yang -harus diakuinya- berwajah tampan
dan berbaju cukup bagus untuk ukuran kota kecil.
Mba Rien mengajak Kino masuk ke kamarnya, dan Kino tentu menurut saja
karena Mba Laras juga mengusirnya dari ruang tamu ("mengganggu
pembicaraaan," katanya). Di kamar, Mba Rien mengeluarkan sebungkus kue
bolu oleh-oleh dari kakaknya, dan Kino bersuka-cita melahap pengganan
lezat kegemarannya itu. Mba Rien terus bercerita tentang kakaknya,
tentang anak kakaknya, tentang kota yang terkenal dengan bolunya, dan
sebagainya, dan seterusnya. Kino, seperti biasa, cuma mendengar dengan
seksama. Tetapi mata Kino tak lekang dari Mba Rien yang bergerak lincah
mengimbangi keramaian ceritanya. Ia seperti burung gelatik di pagi hari,
pikir Kino. Menggairahkan pula, dengan dada yang terlonjak-lonjak
seperti itu, dengan mulut yang basah seperti itu, dengan pinggul yang
bergoyang seperti itu.
Lalu terdengar Laras berteriak dari kamar tamu, mengatakan bahwa ia dan
teman prianya akan keluar untuk menonton. Mba Rien keluar sebentar dan
berbicara dengan pria teman Laras itu, lalu terdengar pintu depan
ditutup, dan Mba Rien kembali ke kamar. Kino sedang berdiri membuka-buka
album foto di meja kerja Mba Rien yang dipenuhi majalah-majalah dan
buku tentang tari-menari. Cantik sekali Mba Rien dalam foto-foto
penampilannya. Ia memang penari yang kata orang penuh bakat, dan sudah
pernah diajak tur keliling Indonesia oleh seorang sutradara tari dari
ibukota. Kino juga pernah mendengar bahwa Mba Rien diajak tur ke luar
negeri, tetapi entah kapan realisasinya.
Kino tersentak ketika merasakan nafas Mba Rien di tengkuknya. Tanpa
terdengar, Mba Rien telah berdiri di belakang Kino, dekat sekali. Dengan
ringan ia menjelaskan foto-foto di album itu, tetapi Kino tak bisa
sepenuhnya mengerti. Betapa tidak! Tubuh Mba Rien menempel di tubuhnya.
Nafasnya harum memenuhi udara. Dadanya yang kenyal menekan punggung
Kino, membuat pemuda ini tiba-tiba bersyukur bahwa Mba Laras dan teman
prianya pergi ke luar rumah!
Lalu, entah kekuatan apa yang datang ke Kino, tiba-tiba ia sudah
berbalik dan memeluk Mba Rien. Bukan itu saja, Kino bahkan tiba-tiba
sudah mengulum bibir basah yang bernafas harum menggairahkan itu. Rien
tergagap, kedua tangannya siap mendorong dada Kino. Tetapi dengan
tiba-tiba pula tangan itu kehilangan daya, dan berhenti di dada Kino,
bukan mendorong melainkan menempel saja. Lalu, ketika Kino terus melumat
bibirnya, Rien tak kuasa mencegah kedua tangannya merengkuh tubuh
pemuda itu. Kedua payudaranya terhenyak di dada Kino, membuat Kino
semakin bergairah menciumi wanita yang selalu menggairahkan birahinya
ini.
Rien mengerang mendapat perlakuan Kino yang penuh nafsu itu. Matanya
terpejam penuh penyerahan, juga ketika pelan-pelan mereka bergeser ke
arah dipan. Tangan Rien meremas punggung Kino, dan bahkan lalu menekan
tengkuk pemuda itu, mendorong Kino untuk berbuat lebih bergairah lagi.
Dan Kino pun menyambut ajakan seperti itu dengan sepenuh hati. Entah
bagaimana awalnya, kedua tangannya kini meremas-remas payudara Rien,
menyebabkan wanita itu terengah-engah. Puting-puting susunya terasa
menegang mendapat perlakuan Kino yang sebetulnya agak kasar itu. Terasa
gatal pula, karena Rien tergesek-gesek beha nilonnya. Kehangatan
tiba-tiba menjalari tubuhnya, ke arah bawah, ke antara dua pahanya yang
kini menempel erat di paha Kino.
Keduanya lalu terjerembab di dipan yang berderit menahan beban yang
lebih berat dari biasanya. Kino menindih Rien dan masih menghujaninya
dengan ciuman. Rok Rien yang pendek telah tersingkap, memperlihatkan
seluruh pahanya, dan celana dalam krem tipis yang berenda-renda. Sejenak
Kino melihat pemandangan itu, menyebabkan ia semakin bergairah menciumi
Mba Rien-nya. Tetapi cuma itulah yang bisa dikerjakan Kino selama ini,
meremas payudara (sebagaimana Mba Rien mengajarinya di pantai) dan
menciumi bibirnya (seperti "peristiwa kenari" sore itu). Tidak lebih
dari itu yang bisa dikerjakan pemuda tak berpengalaman ini!
Adalah Rien yang kemudian tak merasa cukup diciumi dan diremas-remas
seperti itu. Tubuhnya minta lebih dari itu, dan Rien ingin
mendapatkannya dari Kino, pemuda yang semakin lama semakin disukainya
ini. Ia tahu, ini adalah sebuah permintaan yang berbahaya dan harus
diperlakukan hati-hati. Tetapi pancaran birahi dari pemuda yang sekarang
mendekapnya ini begitu kuat, mengundang Rien untuk hanyut lebih jauh
lagi, berenang lebih dalam lagi. Sanggupkah ia menolaknya?
Dengan tangan kanannya yang bebas, Rien tiba-tiba sudah menuntun tangan
kanan Kino, membawanya ke bawah. Tangan pemuda itu tampak lemas tak
berdaya, mengikuti saja. Sambil mengerangkan sesuatu yang tak jelas,
Rien menelusupkan tangan Kino dan tangannya ke balik celana dalamnya.
Kino merasakan telapak tangannya mengusap rambut-rambut halus dan bukit
kecil yang hangat di balik nilon tipis itu. Ah, apa yang harus
kulakukan? pikirnya risau. Tetapi Kino diam saja, karena tangan Mba Rien
kini mengajak tangannya berputar-putar mengusap. Hangat sekali di bawah
sana, jauh lebih hangat daripada kedua payudaranya, ucap Kino dalam
hati. Apalagi kemudian tangannya didorong lebih ke bawah. Tidak hanya
ada hangat di sana, tetapi juga agak basah. Gerakannya masih
mengusap-usap, menuruti saja gerakan tangan Mba Rien yang kini tampak
semakin terengah-engah.
Tiba-tiba Mba Rien melepaskan bibirnya dari pagutan Kino, membuat pemuda
ini agak terperanjat. Apalagi kemudian Mba Rien bangkit, membuat Kino
khawatir telah melakukan suatu kesalahan fatal. Tetapi ternyata tidak.
Ternyata Mba Rien bangkit untuk melepas celana dalamnya, dengan sebuah
gerakan cepat yang menakjubkan. Kino terkesima melihat Mba Rien kini
menggeletak di sampingnya, dengan rok tersingkap sepenuhnya, dan dengan
kewanitaan yang terpampang jelas, menampakkan segitiga hitam
rambut-rambut halus yang sedikit membukit, dan sepasang bibir yang
membasah. Kino menelan ludah berkali-kali. Pemandangan itu sungguh
berada di luar batas khayalnya selama ini. Jauh di luar batas!
Wajah Mba Rien tampak serius dengan sinar yang menggairahkan, pikir Kino
sambil mencari jawab di mata wanita itu. Ia sungguh bingung, tak tahu
harus berbuat apa. Mba Rien tersenyum, lalu berbisik, "Kino.. Mba ingin
kamu melakukan sesuatu malam ini. Mau?"
Kino mengangguk bisu. Apa lagi yang bisa dilakukannya selain itu? Ia
melihat Mba Rien tersenyum seperti biasanya, penuh dengan bujukan agar
ia percaya saja kepadanya. Ia diam saja, ketika tangan Mba Rien menuntun
tangannya kembali ke bawah, ke segitiga yang tampak menggoda dan
mengundang itu. Ia diam saja ketika dengan sabar Mba Rien memintanya
menjulurkan jari tengahnya. Ia diam saja ketika Mba Rien, dengan tangan
kirinya, menguak bibir-bibir di bawah sana, memperlihatkan dinding halus
yang tampak licin-basah dan agak berdenyut berwarna merah muda itu.
"Oh, Kino... tolong gosok-gosokkan jari tengahmu di sana....," tiba-tiba Mba Rien mendesah penuh dengan permohonan.
Kino terenyuh mendengar baru kali ini Mba Rien memohon. Cepat-cepat ia
memenuhi permintaannya, dan dengan rasa kagum mulai menelusuri celah
bibir dan dinding halus yang basah itu dengan jari tengahnya. Perlahan
ia menelusur ke bawah, ujung jarinya terasa menyentuh sebuah liang liat
yang agak sempit. Perlahan ia naik kembali, terus ke atas karena tangan
Mba Rien menariknya sampai hampir keluar dari lepitan bibir-bibir yang
tampaknya menebal itu. Ujung jari Kino kini merasakan sebuah tonjolan
kecil di balik selaput kulit yang agak tebal. Mba Rien tampak memejamkan
mata erat-erat ketika Kino mengurut-urut tonjolan itu seperti yang
diminta Mba Rien.
"Terus, Kino... teruskan, ohhhhhh..," Mba Rien seperti merengek-rengek
dengan wajah yang semakin memerah dan mulut membuka menghembuskan nafas
memburu. Kino memenuhi permintaannya, menggosok dan mengurut dengan jari
tengahnya lebih cepat lagi. Mudah sekali melakukannya, karena jarinya
licin dipenuhi cairan kental bening yang ia tak tahu apa namanya. Mudah
sekali jari tangannya melesak ke liang kenyal kecil di bawah sana,
karena liang itu seperti membuka dengan sendirinya, dan seperti hendak
menyedot masuk jarinya. Gerakan-gerakan tangan Kino semakin teratur;
naik..., turun.... berputar,... naik ... turun .... melesak sedikit.
Demikan seterusnya, sementara Mba Rien kini menggelinjang,
mengerang-erang seperti orang mengejan, dan melentingkan badannya seakan
punggungnya tertusuk duri.
"Oooooh, Kino... lebih cepat lagi .... Kino, ahhhh...," Mba Rien kini
seperti orang mau menangis dan memohon-dengan-sangat kepada Kino.
Sungguh membuat iba Kino, tetapi sungguh menggairahkan pula permintaan
itu. Maka Kino bergerak secepat mungkin, sekeras mungkin, sekuat
mungkin. Tangannya terasa pegal, tetapi ia tak peduli, ia harus lebih
cepat lagi dan lebih kuat lagi menggosok. Harus lebih kuat lagi memutar
sambil menekan kalau perlu, karena setiap putaran dan tekanan tampaknya
membuat Mba Rien semakin keenakan. Rasanya seperti sedang menimba sumur
dengan satu tangan, peluh telah membasahi dahi Kino, tetapi untuk wanita
ini rasanya masuk sumur pun rela!
Tiba-tiba Mba Rien mengejang, dan untuk beberapa detik Kino menyangka
perempuan ini sedang menghadapi maut. Kaget, ia tarik tangannya, tetapi
Mba Rien memprotes..."Ah, jangan Kino....jangan berhenti!" sambil
menarik tangan Kino untuk kembali ke bawah sana.
Cepat-cepat Kino memenuhi permintaan itu, dan menggosok-mengurut kembali
sekuat tenaga. Satu kali, dua kali, tiga kali .... lima kali...
akhirnya Mba Rien seperti berteriak tertahan. Tubuhnya menggeliat lalu
melenting seperti busur panah, lalu terjerembab kembali ke kasur dan
berguncang-guncang seperti sedang diserang batuk hebat. Tetapi bukan
batuk yang keluar dari mulutnya, melainkan erangan-erangan dan
rintihan-rintihan. Kino takut sekali melihatnya!
"Ohhhhhh..., Kino!" ucap Mba Rien seperti orang menahan tangis, memeluk
leher pemuda itu, meraihnya ke pelukan tubuhnya yang masih turun-naik
dengan nafas memburu. Kino terdiam menempelkan kepalanya di dada Mba
Rien, mendengar jantungnya bagai berdentum-dentum, keras sekali.
"Kino .... maafkan Mba Rien !" tiba-tiba terdengar wanita itu berucap.
Kino hendak mengangkat kepalanya, tetapi tertahan oleh tangan yang
memeluk erat lehernya.
Lalu ia merasakan air hangat mengalir di dahinya. Mba Rien menangis!
Ada apa gerangan? Apa yang salah? Cepat-cepat Kino melepaskan diri dari
pelukan, dan memandang heran. Mba Rien memang menangis, matanya penuh
air mata, tetapi mulutnya tersenyum manis.
"Kenapa?" tanya Kino dengan sejuta keheranan.
Mba Rien menggelengkan kepalanya pelan-pelan, tangannya lembut mengusap
wajah Kino, lalu juga mengusap rambutnya yang agak menutupi dahi. Dia
berbisik, "Aku telah menguak sebuah rahasia penting untukmu .... ."
Kino diam dan masih mengernyitkan dahi. Mba Rien berkata lagi, masih
dengan berbisik, "Itu tadi orgasme pertamaku di tangan kamu, Kino..."
Orgasme. Rahasia penting. Kino menghela nafas panjang. Ia menguakkan
kepadaku rahasia terpenting seorang wanita. Mba Rien membawakan kepadaku
dunia yang kini justru penuh misteri untuk dikuakkan, pikir Kino dengan
dada dipenuhi aneka perasaan: bangga bahwa ia dipilih oleh wanita
menggairahkan ini, takjub karena ternyata orgasme itu begitu indah
sekaligus menakutkan, terharu karena melihat wanita ini harus berjuang
melawan dirinya sendiri sampai menangis!
Dengan cepat dipeluknya Mba Rien, diciuminya leher wanita yang harum
itu. Oh, terimakasih untuk kunci rahasia itu Mba Rien. Terimakasih
banyak!!